Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 16 September 2008

AMANAH = JABATAN…???


Samakah antara amanah dakwah dengan jabatan..??. Tentunya pertanyaan ini sangat penting ditanyakan kepada para aktivis apalagi pada momen-momen sosialisasi kepengurusan baru yang saat ini sedang hangat terjadi di kampus kita. Bukan hanya para aktivis yang mendapat amanah di LDK tapi juga di lembaga-lembaga kemahasiswaan lainnya (ammah). Karena pada hakikatnya dimanapun kita ditempatkan, ada sebuah titel mulia yang membedakan kita berbeda dari aktivis lainnya yaitu menjadi seorang ‘aktivis dakwah’.

“Dimanapun bumi di pijak disana dakwah dijunjung”. Sebuah slogan yang sempat dicetuskan oleh seorang ukhti (tp ana lupa siapa..??) pada awal-awal memasuki dunia dakwah di kampus yang ana cintai ini. Sebuah slogan sederhana namun cukup bermakna yang sampai saat ini senantiasa mengingatkan ana tentang keberadaan kita (-yang mengaku dirinya sebagai “pejuang dakwah kampus”).

Ketika kita menyamakan amanah dakwah itu adalah sebuah jabatan. Tentunya kita akan merasa sangat kecewa ketika suatu hari kita di tempatkan pada posisi yang ‘lebih rendah’ dari posisi sebelumnya yang pernah kita emban. Yang akhirnya bisa menimbulkan produktivitas kerja yang menurun, atau lebih parahnya berakibat kepada timbulnya ketidakpercayaan kepada para pimpinan (-yang menempatkan posisi tersebut) dan akhirnya mencoba mencari pelarian kepada “jabatan” lainnya tanpa melalui mekanisme yang ada.

Dalam konteks Qiyadah wal Jundiyah, sikap terbaik yang harus dimiliki oleh seorang jundi (para aktivis dakwah) adalah ia harus siap ditempatkan dimana saja. Ana teringat kata seorang ukhti (ana inget namanya tp dirahasiakan saja ya..). Beliau mengatakan “Diri kita (-para pejuang dakwah) adalah bukan hanya milik kita pribadi, tapi kita adalah milik umat” so kita tidak bisa seenaknya memilih amanah yang kita inginkan. Karena hakikatnya kita adalah jundi yang harus siap ditempatkan dimana saja apapun posisinya dan dimanapun kita berada karena yakin disanalah kita dibutuhkan. Ana sepakat, namun suatu sikap yang salah juga ketika seorang qiyadah memutuskan tanpa melihat kondisi jundi yang akan ia tempatkan. Selain pertimbangan kapasitas, skill ataupun kemampuan (dilihat dari sisi internal qiyadah), pertimbangan2 pribadi dari seorang jundi pun idealnya harus juga didengarkan. Barangkali ada satu sisi yang tidak diketahui oleh seorang qiyadah yang itu nantinya akan memberikan “efek” terhadap kerja2nya ke depan. Jadi harus ada sikap bijak dan ikhlas dari kedua pihak dalam mengkondisikan pos2 agar bisa terisi dengan orang2 yang tepat. Dan yang paling penting tidak memperpanjang barisan sakit hati dalam dakwah ini...

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika menyeru kamu sekalian terhadap sesuatu yang dapat menghidupkan (hati)-mu. Dan ketahuilah bahwa Allah yang menghalangi diantara seseorang dengan hatinya dan hanya kepada-Nyalah kamu sekalian akan dikembalikan”
(QS.Al-Anfal :24).

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh beberapa kasus yang ana lihat dan juga pengalaman yang ana rasakan. Beberapa kasus yang membuat ana berfikir bahwa mau tidak mau suka tidak suka hal ini menjadi fenomena tersendiri yang terjadi di sekitar kita. ‘Ketidaksiapan kader’ dalam mengemban amanah serta ketidak’legowo’an dalam menerima amanah sering kali terjadi. Lalu dimana yang salah ?? Apakah kaderisasi yang kita lakukan saat ini belum optimal sehingga belum bisa menghasilkan kader yang “sami’na wa ato’na’ terhadap keputusan jamaah ..???
Kadangkala beberapa orang di antara kita sering menerima amanah yang tidak kita sukai. Kita merasa itu bukan keahlian kita. Kita pada awalnya memang menolaknya, tapi kemudian terpaksa menerimanya. Hari-hari selanjutnya dipenuhi rasa tanggung jawab akan sesuatu yang berat tanpa ada keyakinan dari dalam diri dan akhirnya performa kerja kita jadi jauh dari yang seharusnya kita capai.. Tanpa ada persangkaan baik terhadap Allah. We make our own failure. Sebenarnya, bukan karena tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, tapi karena merasa tidak bisa. Kita tidak boleh menolak amanah jika itu ternyata sudah menjadi keputusan syuro. Yakinlah, bahwa amanah ini dari Allah. Konsekuensinya, yakinlah bahwa kita mampu menyelenggarakan amanah ini dengan sebaik-baiknya. So, don’t limit yourself. We can if we think we can.
Tidak akan ada istilah “turun pangkat” ataupun “naik pangkat” ketika kita menilai bahwa apapun amanah yang kita terima pada hakikatnya adalah sebuah kemuliaan bagi diri kita, karena kita masih dipercaya Allah SWT untuk menjadi salah satu “pejuang dakwahnya’. Menjadi pejuang di jalan-Nya hendaknya bukan dari kacamata kita, tetapi dari kacamata Allah SWT. Alangkah ruginya bila kita menganggap diri sebagai pejuang, padahal dalam pandangan Allah SWT kita tak ada apa-apanya. Maka, bersama-sama kita memuhasabahi diri, agar cinta kita kepada-Nya bukan hanya angan semata karena pembuktian cinta haruslah mengikuti dengan keinginan yang dicinta. Cinta sejati, tidak hanya dimulut dan disimpan di dalam dada saja, tetapi harus dibuktikan, agar sang kekasih percaya bahwa kita mencintainya. Kita mencintai-Nya dan Dia pun mencintai kita.

Sesungguhnya keistiqomahan dalam berjuang, itulah indikasi keimanan sang pejuang yang sebenarnya. Pejuang yang sabar menapaki hari-hari dengan mengibarkan panji Illahi Rabbi. Teguh pendirian. Tak kenal henti. Hingga terminal akhir, surga. So, berikan kontribusi terbaik apapun dan dimanapun posisi kita saat ini...!!

“Berbahagialah hamba yang menuntun kendali untanya di jalan Allah, kepala dan kakinya berdebu, jika ia bertugas jaga maka ia melaksanakan (dengan baik dan ikhlas) dan jika sebagai pengawal pasukan di belakang ia melaksanakan pengawalan (baik dan ikhlas)” HR. Bukhari.


SAATNYA BEKERJA...TEMAN..!!!


Ditulis :
Rabu, 30 Agustus 2008 Pkl. 21.30 WIB
Di kamar kostan tercinta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Bermanfaat...