Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 16 Juli 2009

BURUNG PATAH SAYAP (sebuah catatan dakwah seorang ukhti)


Ukhti, aku selalu mengagumi sayap-sayapmu yang tak pernah berhenti mengepak dan senantiasa terbang tinggi dan kian tinggi. Kecepatan dan gelombang ruhiyahmu pun sangat luar biasa. Dirimu, aktivis dakwah yang tak pernah kenal henti berjuang, dinamis, dan haroki, mewakili motomu tentang jangan pernah diam dan berhenti bergerak, karena diam dapat mematikan.

“Ustadz, apakah usia perjuangan dakwah akhwat begitu terbatas? Terbatas oleh usianya, pekerjaannya, dan terbatas oleh amanahnya dalam rumah tangga?” Tanyaku suatu hari pada seorang ustadz. “Kalau begitu aku iri pada teman-teman ikhwan seperjuanganku. Mereka dapat cuek untuk tidak memikirkan pernikahan. Toh setua apapun kelak mereka mau menikah, mereka dapat dengan mudah menikahi akhwat yang lebih muda. Jika akhwat, semakin tua… Adakah ikhwan yang berkenan padanya?” Aku masih dengan pertanyaan polosku. Ustadz hanya tersenyum… I know.. Itu berarti aku sendiri tahu jawabannya. Dungdungdungdung…..


Fenomena ini mungkin mengenai semua lini dakwah. Saat sebagian akhwat berhenti dari aktivitas dakwahnya justru setelah ia menikah. Aku mencoba merenungi dalam-dalam. Pasti ada yang salah, (bisa jadi pemahamanku, pola pikirku) ya…, pasti ada yang dapat kujadikan pelajaran. Dalam benakku, pernikahan di jalan dakwah adalah pernikahan dua aktivis yang bertujuan memperkokoh tandzhim dakwah, menyatukan kekuatan, dan mencetak generasi baru jundullah. That’s the point, namun dalam kenyataannya seringkali kondisi ini tidak se-idealis yang ku bayangkan… Ada berbagai situasi dan kondisi yang realistis yang harus dicermati. Dan aku belajar banyak, dari pernikahan saudaraku, sahabat-sahabatku, patner-patner dakwahku…

Bidadari, menikah adalah sunnatullah dan sunnah Rasulullah bagi setiap muslim. Ya, of course, karena akhwat adalah tulang rusuk yang bengkok. Harus ada yang meluruskannya dengan penuh kesabaran kalau tak ingin patah. Pernikahan sepasang aktivis dakwah haruslah karena dakwah (terlepas dari berbagai fenomena yang ada saat ini; VMJ (virus merah jambu), take in, atau hubungan tanpa status). Dan saat menikah di jalan dakwah, maka proyek dakwah dalam keluarga adalah konsekuensi logis dari pernikahan para aktivis.

Namun bagi akhwat, ada banyak hal baru yang nembuatnya harus berada dalam dunia yang mungkin berbeda. Tak jarang menghentikan sementara gerak langkahnya (terlebih saat buah hati telah hadir dalam kehidupannya). Namun ini hanya sementara, sampai jundi kecilnya mulai bisa diajak berjihad. Right??? Maka menjadi amanah bagi keduanya untuk saling mengingatkan, agar mujahidah dakwah tak bagai burung patah sayap.

Aku yakin engkau tahu benar bidadari, bahwa sebagai akhwat aktivis dirimu memiliki banyak potensi. Kemampuan manajerial, strategi dakwah, membina, kaderisasi, dan banyak hal lainnya yang sebenarnya tidak terbatas. Apakah harus berakhir di gerbang pernikahan? Meski ada amanah lain yang juga tak kalah menantangnya, menjadi madrasah terbaik, bidadari terbaik di rumahnya. Namun potensi itu punya hak untuk terus berkembang, jangan dibiarkan padam atau meredup. Potensi itu harus terus dinamis dan haroki, untuk membuat satu karya terbaik bagi umat. Ada banyak kader akhwat, namun mengapa masih sulit untuk mencari mentor? Mengapa masih sulit untuk mencari pengisi ta’lim? Mengapa begitu sulit untuk mencari aktivis akhwat di lini dakwah ini? Nikmat tarbiyah punya satu konsekuensi logis bagi para jundinya, yaitu bergerak dan beramal, untuk satu cita IQQOMATUDIEN (menegakkan dienNya).

Entahlah, kadang tanya ini tak berujung jawaban. Satu hal yang pasti harus terus kita benahi adalah sebuah sistem yang terbaik untuk mengelola potensi para umahat. Dan tarbiyah sebenarnya telah menjadi wasilah yang tepat. Namun terlepas dari sistem ini, ada satu point yang lebih utama. Niat, ghirah, tadhiyah, hamasah dari para aktivis dakwah akhwat itu sendiri, untuk terus menjadi cahaya umat, tidak semata menjadi cahaya di rumahnya saja. Maka kepak sayap itu akan terus berkembang dengan dua kekuatan besar dalam sebuah rumah tangga yang tak ubah bagai sebuah markas jihad. Bagai sayap burung, ia kan terus terbang lebih tinggi. Tak kenal henti, karena ada tujuan bersama yang begitu indah… Jannah dan pertemuan dengan-Nya.

Bidadari, sungguh…, tidak ada yang membedakan usia perjuangan dakwah akhwat dan ikhwan. Mungkin bentuk dan kadarnya saja yang berbeda. Namun semangat dan gelora jihadnya tidak boleh berbeda. Karena kelak dihadapan Allah, hanya ketaqwaanlah yang membedakan. Bukan gender, suku, rupa seseorang. (Dan aku tidak mau mengalah, juga tidak mau berhenti berfastabiqul khoirot dengan teman-temanku….. Duh…. Nih kepala terbuat dari apa sih?).

Ukhti fillah, para aktivis dakwah, akhwat, dan umahat. Gerbang pernikahan adalah awal fase baru dalam kehidupan (pernikahan bukanlah hidup baru, hanya sebuah fase baru, karena kehidupan baru kita adalah saat kita bertemu Rabb kita. Saat nyawa meregang dari tubuh kita, saat kita akan berhadapan dengan hari yang sangat berat untuk hisab kita. Itulah hidup baru kita, kematian dunia untuk sebuah kehidupan abadi di akhirat kelak). Gerbang itu bukan untuk menutup semua potensi kita, tapi justru laboratorium pengembangan kapasitas dakwah kita. (Berat menulis seperti ini, karena Uz belum bisa membuktikannya alias konsulen teoritis saja).

Saat memasuki rumah dakwah baru, maka saat itulah genderang jihad dibunyikan untuk melihat sejauh mana dua kekuatan besar tersebut berkolaborasi membangun sebuah kekuatan yang dasyat untuk menjadi kemanfaatan yang besar bagi masyarakatnya, negaranya, dan terutama bagi diennya. Dan PR ini bukan main-main, agenda ini harus senantiasa di evaluasi bersama. Karena kita semua adalah du’at, nahnu du’at qobla kuli syai (kita adalah da’i sebelum yang lainnya ).

Maka ukhti fillah, akhwat, dan umahat bantulah para akhwat aktivis untuk tidak fobi terhadap pernikahan. Dengan segala keterbatasan, teruslah kepakan sayap jihadmu. Minimal lewat perhatian dan doamu. Karena Nusaibah, Khadijah, Khansa, tidak lahir begitu saja. Generasi shahabiyah bukan impian semu yang tak mungkin hadir di akhir zaman ini. Kita adalah wanita akhir zaman, kita tidak bisa berhenti melangkah dan bergerak karena cita-cita besar kita belumlah futuh hingga dakwah mencapai kemenangannya. Kehidupan kita bukanlah sebatas suami, anak dan segala kesulitan rumah tangga kita. Tapi lebih besar lagi… Ini adalah tantangan bagi saya, meski saya tak pernah mampu meraba masa depan.

Tapi semoga Allah mengistiqomahkan kita, akhwat, dimanapun nanti ukhti berada, mendampingi mujahid manapun…. Jannah itu adalah milik kita juga, maka bertempurlah tuk jadi yang terbaik dari setiap peran yang harus kita jalani. Ini pertempuran kita…. Tuk buktikan pada dunia kita mampu setegar para mujahidah Afgan yang saling menyemangati antar para umahat untuk mendorong para suaminya berjihad dan menutup pintu rumah kala suaminya bermalas-malasan dari dakwah.

Ini pertempuran kita, tuk buktikan pada Allah bahwa Dia tak pernah salah memilih kita menjadi mujahidah dakwahnya… Yang menjadikan suami dan anak bukan fitnah baginya. Namun menjadi kekuatan luar biasa, sekuat para mujahidah dan para umahat Palestina yang tak pernah berhenti melahirkan dan mendampingi mujahid dakwah meski mereka harus kehilangan semua orang yang dicintanya…. Demi izzah Islam.

Ini pertempuran kita… Tuk kalahkah stigma bahwa akhwat bagai burung patah sayap saat ia menikah. Bertempurlah ya ukhti, terutama dengan diri kita sendiri. Karena seringkali ialah musuh terbesar kita.

“ Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka merekalah orang-orang yang rugi…” (Q.S Al Munafiqun : 9).

Karena kau ukhti mujahidah…. Karena kau pendamping mujahid dakwah… Maka sambutlah seruan ini… Semoga kelak kau kan menjadi bidadari surga mulia di jannah-Nya. Wallahualam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Semoga Bermanfaat...