Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 23 Mei 2010

LETS DO SOMETHING.....

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah bagian bab dalam sebuah buku.......tentang bagaimana seseorang menilai sebuah pekerjaan..

Bagi kita (kita??? Hemm saya kali ya? :D), yang baru menyelesaikan studi atau orang2 yang masih mencari ’pekerjaan tetap’, bisa jadi masa-masa menunggu dan mencari pekerjaan ini menjadi hal yang sangat ’menyiksa’ (semoga tidak terlalu ’lebay’ dalam membahasakannya...). Saya yakin semua pernah merasakannya?..iya kan??...ngaku aja dah...(**maksa..hee...)

Biasanya kalau bertemu dengan adik2 tingkat atau teman2 lama, pasti bertanya? ”Sudah kerja dimana mba/kak?”..Dan kamu akan merasa malu untuk menjawab, karena kamu belum mempunyai pekerjaan..walaupun kamu sudah berpenghasilan..
Tidak mempunyai pekerjaan tapi berpenghasilan?? Laah bagaimana bisa?..Nah, ini dia....

Menurut bahasa bekerja adalah melakukan suatu perbuatan (pekerjaan) atau berbuat sesuatu (Kamus Umum Bahasa Indonesia by Poerwadarminta).
” Apa pekerjaanmu?”
Jika saya menjawab dengan menyebut perbuatan yang saya kerjakan sehari-hari, mestinya saya tidak salah. Tapi apakah jawaban itu dianggap menjawab pertanyaan?? Nyatanya tidak.

Bagi kebanyakan kita pekerjaan itu terkait dengan prestise, yaah status sosial lah... Jadi ketika ditanya ”Kerja dimana sekarang?”, paling tidak lebih ’keren’ ketika kita menjawab sebuah tempat dengan menyebutkan sebuah posisi???...Iya gak??...Tanpa memperdulikan seberapa besar penghasilan dan sebanyak apa karya yang dihasilkan dari sebuah pekerjaan itu...

Jika saya tidak bisa menyebutkan sebuah tempat dan sebuah posisi, pada kondisi itu saya disebut ’tidak bekerja atau dengan bahasa lainnya ’menganggur’. Ya sekalipun saya mengerjakan sesuatu atau banyak perbuatan yang positif. Benar-benar saya menganggur?..
Menghadapi hal itu tentu kadang2 timbul kecamuk di dalam hati dan fikiran saya. Terlalu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Siapa sih yang mau disebut menganggur? Kesannya menjadi orang yang tak berguna. (Nauzubillahibindzalik...)

But, everything gonna be OK...karena hidup ditakdirkan untuk tetap berjalan. Umur harus diisi dengan amal sebaik-baiknya. Imam Syafe’i berkata jika air berhenti mengalir maka seperti air kubangan yang semakin lama akan semakin membusuk, namun jadilah seperti air yang terus mengalir yang akan selalu tetap bening dan berguna.

Dengan seabrek kegiatan sehari-hari, terkadang pergi pagi pulang sore, hanya mencoba bisa mengaktifkan otak dan badan. Menyenangkan terlibat dalam kajian, membina beberapa kelompok mentoring sekolah, menyiapkan alat dan bahan praktikum, seminar, perkumpulan ormas, membuat proposal, mengurus undangan, membuat pamflet, hingga mengurus ’jamur kesayangan’ he... Sayangnya pertanyaannya masih sama..”Apa sih pekerjaan kamu?”
”Laah sederet aktivitas tadi bukan pekerjaan?”
”Ya, tapi yang begitu kan tidak menghasilkan uang banyak...!”
Oh, jadi uang toh ukurannya. Jika begitu, artinya definisi pekerjaan hanya untuk mencari uang.
Bagaimana kalau saya merasa tidak perlu mencari uang? (kedengarannya sombong ya??). Meskipun beberapa organisasi sosial tidak membayar saya, rezeki akan selalu ada..Seperti kata teman saya, akan selalu ada anggaran dari langit....
Dan orang2 seperti ini soal produktivitas, bisa jadi mereka jauh lebih unggul daripada pegawai yang lebih banyak membaca koran dan mengobrol di kantor.
Masyarakat yang memiliki konstruksi berfikir materialistis menyebut mereka tidak bekerja. Hal ini tentu saja tidak menyempitkan makna bekerja, melainkan juga pelecehan terhadap karya yang tidak terukur dengan uang. Nilai manusia tidak lagi karena kepribadiannya, melainkan apa yang menjadi aset pribadi (termasuk status, yang ujung2nya adalah materi).

Yah pokoknya mah pekerjaan berkaitan erat dengan prestise....Manusia menilai dari apa yang dilihatnya dan mengikuti apa yang paling menyenangkan bagi dirinya.
Saya teringat cerita ini...
Ada seorang bapak dan anaknya berjalan membawa keledai kecil. Keduanya menuntun si keledai dan berjumpa dengan orang. Mereka berkata ” Dasar bodoh, kalian memiliki keledai, mengapa hanya dituntun? Bukankah keledai itu bisa ditunggangi?”. Kemudian si bapak menyuruh anaknya menunggang keledai. Lalu mereka bersua dengan orang lainnya. Kata mereka ” Dasar anak durhaka, kamu enak saja naik keledai, sementara ayahmu yang tua berjalan kaki.” Si anak turun, si ayah naik ke punggung keledai, lalu meneruskan perjalanan. Mereka bertemu dengan orang dan dicela, ” Dasar orang tua tak tahu malu, kamu naik keledai, sementara anakmu berjalan kaki”. Keduanya berfikir sejenak, lalu naik keledai bersama-sama.
Perjalananpun dilanjutkan. Mereka bersua orang kembali, lalu dicaci, ”Kalian ini bapak-anak tidak punya belas kasihan. Masa keledai sekecil itu kalian naiki berdua”. Keledai itu memang tampak kelelahan. Jadi, anak-beranak itu memutuskan untuk memanggul si keledai, lalu meneruskan perjalanan. Ketika berjumpa orang, mereka mendapat celaan, ”Bagaimana ini, mau saja kalian memanggul keledai? Apakah kalian lebih bodoh daripada dia?”. Bapak dan anak saling pandang..
Aaah...manusia memang tak ada puasnya..
Memang yang benar menurut orang banyak belum tentu menjadi kebenaran. Jadi apa yang dianggap benar oleh kebanyakan orang adalah relatif. Lalu bagaiamana dengan kebenaran dari langit??

Semestinya semua orang berhak disebut bekerja saat dia berbuat baik. Amal baik tidak tergantung apa status yang disandang oleh seseorang, melainkan apa yang diperbuat dan untuk siapa perbuatan itu dilaksanakan. Dihadapan Allah menjadi tak penting status yang disandang seseorang. Yang lebih penting, umur yang ada digunakan untuk apa?............

Tulisan saya ini juga bukan untuk dijadikan pembenaran untuk tidak memiliki pekerjaan. Hanya ingin membedakan antara ’bekerja’ dan berpenghasilan (*dlm persepsi masyarakat kebanyakan). Bukankah ’mampu untuk berpenghasilan’ (note : BUKAN mampu memiliki ’pekerjaan’) merupakn salah satu point dari muhasshofat kader tarbiyah, artinya hal ini memang merupakan sebuah hal yang penting dimiliki oleh masing2 pribadi kita..

Hanya ingin mengajak kita berfikir lebih luas, membuka rantai keterkungkungan menilai sebuah pekerjaan (baca : posisi), dan mengenyampingkan rasa ’khawatir’ yang mendalam karena belum memiliki status sosial yang jelas (baca : yang dikatakan ’pekerjaan’ oleh masyarakat kebanyakan).
Yang perlu kita khawatirkan adalah sedikitnya karya yang kita buat dengan waktu yang tersedia, dan banyaknya kebermanfaatan keberadaan kita.

Wallahualambisshawab

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Al-Hasyr : 18)

Jazakillah to mba Kun Sri Budiasih yang menginspirasi tulisan ini lewat artikelnya ”Bekerja atau tidak bekerja” **Some text adobted from this articel**

Kotabumi, 23 Mei 2010
Pukul. 22.48 wib

1 komentar:

  1. Mantap sob, tukeran link yach, mungkin kamu butuh dokumentasi seperti acara wedding dan acara lainnya untuk wilayah Bandar Lampung dan sekitarnya, silahkan kunjungi blog kami, jangan lupa komentarnya ....

    BalasHapus

Semoga Bermanfaat...